“Hujan Yang Kelabu”
Pesona
sang lukisan waktu yang semula terang benderang ketika cahayanya terpantulkan
lewat kaca gedung-degung bertingkat, rumah-rumah ataupun kendaraan yang berlalu
lalang seperti semut yang keluar dari sarang yang berbondong bondong. Berkilauan
seperti berlian yang selalu dikagumi para wanita, membiaskan cahaya yang ketika
diamati lebih dalam akan terkagum-kagum betapa besarnya karunia sang pencipta.
Menjadi
awal mulanya penanda waktu bagi orang-orang beraktivitas, memberikan kehangatan
kala menerpa tubuh melewati pori-pori kulit dan menjadikan tubuh lebih bugar, betapa
indahnya sang surya dalam balutan langit biru bermandikan cahaya berhiaskan
mega-mega yang malah membuatnya benar-benar menjadi karya tuhan yang paling
sempurna, mereka yang menggantungkan hidupnya pada sang surya demi mengais
rezeki selalu tersenyum bahagia dari awal surya menyingsing hingga ditelan bumi
ah bukan mungkin saja ia diamankan bumi karena bumi tahu bahwa banyak orang
yang sangat bergantung pada sang surya, dan jangan sampai sang surya
menghilang.
Tapi
kini perlahan-lahan lukisan waktu beserta isinya tergantikan dengan susasa
kelam nan dingin bagai seluruh kebahagian menguap entah kemana, seketika
aktivitas yang semula lancar menjadi mendadak beku terhenti oleh suasana muram
dan mencekam seolah-olah mereka tahu bahwa surya kini telah diselimuti awan hitam
pekat yang menutup seluruh langit, yang menghapuskan kilauan cahaya. Suara
gemelutuk gigi terdengar dari beberapa orang yang melewati jalanan yang
mendadak terhenti aktivitasnya itu menahan terpaan dingin yang membuatnya
mendingin dan meringis ingin cepat mencari tempat aman, orang-orang mulai
berlarian mencari tempat perlindungan dari basahnya hujan dari dinginnya angin,
Suara gemuruh petir dan angin bersautan menandakan akan turunnya sang air mata
dewa, entahlah begitu kata mereka yang percaya bahwa hujan dapat menjadi petaka
untuk mereka karena ketika dewa bersedih artinya sedang kacau dan mungkin
terasa kegelisahan hatinya hingga kebumi, pepohon berdahan besar dan beranting
banyak itu ditumbuhi daun yang lebat pada ujung-ujungnya ikut tergerak oleh angin
entah ia menghindar dari terpaan angin atau mungkin ia tak dapat melawan
terpaan angin yang begitu kuat hingga
pepohonan itu pun peseolah seolah tak mampu berdiri tegap lagi laksana
jendral perang yang memimpin barisan para prajuritnya.
Ketika
itu hujan turun dengan lebatnya menimbulkan genangan pada lubang-lubang jalan
yang telupakan pemerintah untuk diperbaiki, memenuhi selokan yang tersumbat
sampah ulah orang tak bertanggung jawab yang tahunya hanya makan dan buang
tanpa pernah tahu sewaktu-waktu akan terjadi seperti apa nanti . hujan kali ini begitu berbeda seperti membawa
duka kelam yang akan melanda , menghanyutkan perasaan sedih mendalam . Mereka
yang telah sampai dirumahnya ketika hujan mulai turun dapat menghembuskan napas
dengan lega tinggal membersihkan diri lalu bersantai dirumah dan mulai
memanjakan diri dengan selonjoran disofa yang empuk ditemani secangkir teh dan
biscuit, nyaman sekali rasanya mungkin besok sang surya akan mulai menyingsing menampakkan dirinya kembali membawa kebahagian,
memunculkan secercah harapan , dan kembali memberikan kehangatan.
Tak
pernah sebersitpun dibenak mereka terlintas jika surya akan menghilang sejenak
dari kehidupan, ditahan oleh kehendak tuhan yang menginginkan orang-orang
berkaca akan perilaku hambanya, berusaha untuk memperbaiki diri, dan menegur
untuk kembali menjadikan pribadi mereka yang lebih baik. Dan itu benar saja
terjadi ketika orang-orang telah terlelap dalam bunga tidur yang memberikan
gambaran kebahagiaan hidup yang fana atau mungkin ketakutan yang mengekang
jiwa, hujan yang tadinya hanya sebatas percikan seperti air mata yang jatuh
berubah menjadi guyuran air yang besar dan mulai memenuhi setiap rongga selokan
yang siap membawa hantaran air kebadan sungai yang penuh dengan sampah noda
manusia dan lumpur endapan limbah hasil cerutu raksasa dipinggiran sungai, sedang
badan sungai pun sudah tak sanggup lagi menampung bahkan telah meluap dan siap
memuntahkan air itu pemukiman penduduk menjadikan sungai itu bagaikan bom air
yang tak ada seorang pun tahu kapan akan meledak dan meluluh lantakan pemukiman
penduduk dan fasilitas kota, tapi kini telah terlambat rupanya bom air itu telah dikehendaki tuhan untuk
meledak mulai menerjang dengan hantaman yang keras dan turut serta membawa
lumpur ke badan jalan, rumah-rumah warga, gang sempit bahkan menjadikan pabrik-
pabrik bermandikan air kotor sungai yang bercampur sampah dan lumpur hasil noda
mereka sendiri sampai hingga ke pusat kota.
Air
itu menghantam tembok rumah warga dengan kuat dan merobohkannya membuat pemilik
rumah yang sedang terlelap tertimpa reruntuhan tembok tak sempat menyelamatkan
diri, teriakan warga saling bergema dan meraung-raung mecari pertolongan,
terdengar dalam setiap raungan mereka keputus asaan dan kesakitan, membuat
kepanikan luar biasa bagi mereka yang masih terjaga mereka berteriak
memberitahu bahwa banjir yang begitu dahsyat telah tiba, para orang tua
tertimpa reruntuhan bangunan yang terhantam air layaknya tsunami yang menerjang
pantai, anak-anak terseret air dan menenggelamkannya hingga tak mampu untuk
kembali bernafas, melanjutkan kehidupan dan bermain yang dipenuhi canda dan
tawa. Ketika tenggelam mungkin dari mereka ada yang baru ingat akan tuhannya
dan mungkin dalam hati baru berkata dan memin
Kini
itu semua telah terjadi, isakan warga yang kehilangan anggota keluarganya
tampak memenuhi sudut-sudu kota, korban banjir itu berserakan dimana-mana seperti
kacang polong yang tumpah dari mangkuk, sampai ada yang terbawa arus hingga ke
bahu jalanan, yang membedakan korban itu, dipenuhi lebam yang Nampak kebiruan
akibat sulit bernafas, luka ditubuh akibat tertimpa dan menabrak bangunan atau
barang lain, mereka tergelatak tak berdaya akibat ulah bencana yang tanpa
mereka sadari merupakan hasil buah tangan mereka selama ini, mereka yang tak
berdosa pun ikut terkena dampaknya.
Terlihat
seorang ibu mengangis tersedu-sedu sambil berjongkok dan mengusap kening
anaknya yang terhalang rambut panjangnya, anak semata wayangnya yang tak
tertolong akibat tenggelam dan tak sempat ia bawa ketempat yang lebih aman ,
wajah anak itu terlihat lebam kebiruan, ibu tersebut hanya mampu menangis, ia
tak tahu harus bagaimana menyalahkan siapa.
Sang
ibu teringat ucapan anaknya itu ketika ingin menjadi seorang guru yang mengabdi
untuk negara menjadikan anak-anak memiliki ilmu kini mimpinya terhempas hilang
bersama terjangan banjir kini ia hanya tersenyum pedih berusaha untuk tetap
tegar, ibu mana yang tak akan sedih ketika melihat anak satu-satunya meregang
nyawa dihadapannya dicabut nyawa nya oleh malaikat maut dengan kuasa tuhan lewat bencana banjir
“Ya Tuhan, mengapa kau mengambil anakku ?, anak satu-satunya kami setelah
penantian lama, menunggu dalam naungan do’a kami padamu. Apakah kami telah
berbuat salah hingga engkau mengambil kembali hambamu itu. Bahkan ketika ia tak
pernah sekalipun menggapai asa menuju cita-citanya” Ibu itu mengelah nafas dan
kembali terus mengajak anaknya bercakap “nak, kamu tau kami sangat meyangimu
melebihi apapun terutama ibu, kami memang terkadang sangat lelah dan letih
menghadapi cobaan hidup dan pekerjaan ini, tapi percayalah bahwa ketika kamu
tersenyum , semua beban itu terasa luruh begitu saja dalam hidup kami, ketika
kamu berceloteh menceritakan bagaimana sekolahmu, teman bermain mu, dan
cita-citamu dengan semangat menggebu-gebu dan wajah yang terus memancarkan
senyuman , itu adalah kebahagian terbesar kami. Kami merasa bahwa kamu adalah
anugerah terindah dari Tuham. Nak semoga di surga kelak , kamu lebih bahagia. Maafkan
kami orang tuamu yang tak berdaya menyelamatkan nyawamu.” raungnya dalam hati sambil
terus terisak-isak . begitu pula seorang anak yang menangis terisak-isak sambil
melihat tubuh seorang wanita yang dicintainya, pelindungnya, sang panutannya
terbujur kaku dengan luka dan memar disana sini akibat terhantam benda keras
yang terbawa banjir . ia bingung bagaimana jalan hidupnya nanti ia terus
terisak sambil memeluk tubuh wanita itu dengan ketakukan “ mama bangun, mama
jangan bercanda, jangan tinggalin kaka sendiri. kaka takut, kaka sama siapa
nanti, maafin kaka ketika mama berbicara kaka tak pernah peduli, ketika mama
menegur tak pernah kaka tanggapi, mah, maaf kaka selama hidup ini selalu
membuat mama kecewa tapi mama tak pernah sekalipun mengeluh, walau pun dengan
wajah yang sudah terlihat Lelah tetap bekerja demi kaka, ketika ayah tiada
mamah yang jadi pelindung dan tulang punggung untuk keluarga ini , mah sekarang
kaka tinggal sendiri di dunia yang kejam ini . Ya Tuhan aku meminta kepadamu
walaupun aku selalu lalai akan perintahmu, melupakan mu tapi sekarang tolong
terimalah taubatku serta terimalah ibuku disisimu, maafkan dosa-dosanya
jadikanlah ia bidadari surga-Mu” anak itu terus berkata dengan sesekali
tersengguk-senggung ketika mengucapkannya, sekalipun anak itu telah dewasa ia
tetaplah anak yang membutuhkan pelindung, tempat bersandar ketika bersedih
kepada orang tuanya. Tak sedikit warga yang melihat anak itu ikut teriris
hatinya, bahkan ada yang tak sanggup membendung air matanya. Perlahan anak
tersebut dihampiri beberapa warga dan berusaha memisahkan ia dengan jenazah
ibunya yang terbujur kaku agar segera dibawa tim medis, anak tersebut semakin
mengeratkan pelukannya pada sang ibu dan berkata“lepasin , itu mamaku, mamaku
lagi tidur pengen kaka temenin kasihan mama sendirian “ orang-orang terdiam dan
ikut merasakan kesedihan anak tersebut tapi mereka tetap berusaha melepaskan
pelukan anak tersebut dan berusaha memberikan pengertian bahwa ibunya telah
pergi kembali pada Yang Maha Kuasa.
Semua
bersedih, semua sakit ketika ditinggalkan orang terkasih tapi apalah daya
ketika ketika nasi telah menjadi bubur, sulit untuk orang peduli akan dampak
yang diperbuat nanti dimasa depan . memang benar bencana ini semua bukan semata-mata
begitu saja terjadi oleh mereka tapi Tuhan dengan segala kebaikannya ketika
memberi teguran yang ringan tak pernah sekalipun didengar tetap terus
memberikan kenikmatan hidup, hingga teguran keras melayang pada mereka bukan
karena Tuhan sudah tidak saying, tetapi Tuhan lebih menyayangi mereka janganlah
keburukan terus berlanju hingga kebajikan terlupakan, kini mereka yang berpikir
selalu menagungkan logika malah terus berkata bahwa ini semua akibat alam,
akibat hujan besar yang terus terjadi, terus menutup diri dengan segala omongan
yang seolah menutupi dirinya bahwa merekalah sendiri yang ikut ambil bagian
dalam menciptakan malapetaka, jika mereka memiliki hati nurani, memiliki
keteguhan iman, memiliki inisiatif untuk menghasilkan uang dengan sehat dan
halal serta memperhatikan dan menerima teguran tuhan dengan hati yang lapang dan
mau berubah maka itu semua mungkin tidak terjadi.
Tak
ada yang tahu mungkin saja jika kebajikan lebih banyak daripada kenistaan, tuhan
akan tetap mempertahankan sang surya pembawa kebahagiaan bukan membawa hujan
besar yang mengguyur hati dengan kekelaman dan duka yang mendalam
Apalah
arti ucapan yang baik dan mewawan ketika hanya berucap tanpa dilaksanakan,
hidup itu bukan untuk mencari kesenagan tetapi untuk mencari jati diri dan
bertanya pada diri sendiri telah pantaskah ia di beri kehidupan oleh sang tuhan.
Yang terlihat baik belum tentu berdampak baik.
Purwakarta,
Oktober 2016
M
Fahri Setiono
0 comments:
Post a Comment