Wednesday, October 19, 2016

Cerita Pendek ( CerPen ) : Hujan Yang Kelabu



“Hujan Yang Kelabu”

Pesona sang lukisan waktu yang semula terang benderang ketika cahayanya terpantulkan lewat kaca gedung-degung bertingkat, rumah-rumah ataupun kendaraan yang berlalu lalang seperti semut yang keluar dari sarang yang berbondong bondong. Berkilauan seperti berlian yang selalu dikagumi para wanita, membiaskan cahaya yang ketika diamati lebih dalam akan terkagum-kagum betapa besarnya karunia sang pencipta.
Menjadi awal mulanya penanda waktu bagi orang-orang beraktivitas, memberikan kehangatan kala menerpa tubuh melewati pori-pori kulit dan menjadikan tubuh lebih bugar, betapa indahnya sang surya dalam balutan langit biru bermandikan cahaya berhiaskan mega-mega yang malah membuatnya benar-benar menjadi karya tuhan yang paling sempurna, mereka yang menggantungkan hidupnya pada sang surya demi mengais rezeki selalu tersenyum bahagia dari awal surya menyingsing hingga ditelan bumi ah bukan mungkin saja ia diamankan bumi karena bumi tahu bahwa banyak orang yang sangat bergantung pada sang surya, dan jangan sampai sang surya menghilang.
Tapi kini perlahan-lahan lukisan waktu beserta isinya tergantikan dengan susasa kelam nan dingin bagai seluruh kebahagian menguap entah kemana, seketika aktivitas yang semula lancar menjadi mendadak beku terhenti oleh suasana muram dan mencekam seolah-olah mereka tahu bahwa surya kini telah diselimuti awan hitam pekat yang menutup seluruh langit, yang menghapuskan kilauan cahaya. Suara gemelutuk gigi terdengar dari beberapa orang yang melewati jalanan yang mendadak terhenti aktivitasnya itu menahan terpaan dingin yang membuatnya mendingin dan meringis ingin cepat mencari tempat aman, orang-orang mulai berlarian mencari tempat perlindungan dari basahnya hujan dari dinginnya angin, Suara gemuruh petir dan angin bersautan menandakan akan turunnya sang air mata dewa, entahlah begitu kata mereka yang percaya bahwa hujan dapat menjadi petaka untuk mereka karena ketika dewa bersedih artinya sedang kacau dan mungkin terasa kegelisahan hatinya hingga kebumi, pepohon berdahan besar dan beranting banyak itu ditumbuhi daun yang lebat pada ujung-ujungnya ikut tergerak oleh angin entah ia menghindar dari terpaan angin atau mungkin ia tak dapat melawan terpaan angin yang begitu kuat hingga  pepohonan itu pun peseolah seolah tak mampu berdiri tegap lagi laksana jendral perang yang memimpin barisan para prajuritnya.
Ketika itu hujan turun dengan lebatnya menimbulkan genangan pada lubang-lubang jalan yang telupakan pemerintah untuk diperbaiki, memenuhi selokan yang tersumbat sampah ulah orang tak bertanggung jawab yang tahunya hanya makan dan buang tanpa pernah tahu sewaktu-waktu akan terjadi seperti apa nanti .  hujan kali ini begitu berbeda seperti membawa duka kelam yang akan melanda , menghanyutkan perasaan sedih mendalam . Mereka yang telah sampai dirumahnya ketika hujan mulai turun dapat menghembuskan napas dengan lega tinggal membersihkan diri lalu bersantai dirumah dan mulai memanjakan diri dengan selonjoran disofa yang empuk ditemani secangkir teh dan biscuit, nyaman sekali rasanya mungkin besok sang surya akan mulai menyingsing  menampakkan dirinya kembali membawa kebahagian, memunculkan secercah harapan , dan kembali memberikan kehangatan.
Tak pernah sebersitpun dibenak mereka terlintas jika surya akan menghilang sejenak dari kehidupan, ditahan oleh kehendak tuhan yang menginginkan orang-orang berkaca akan perilaku hambanya, berusaha untuk memperbaiki diri, dan menegur untuk kembali menjadikan pribadi mereka yang lebih baik. Dan itu benar saja terjadi ketika orang-orang telah terlelap dalam bunga tidur yang memberikan gambaran kebahagiaan hidup yang fana atau mungkin ketakutan yang mengekang jiwa, hujan yang tadinya hanya sebatas percikan seperti air mata yang jatuh berubah menjadi guyuran air yang besar dan mulai memenuhi setiap rongga selokan yang siap membawa hantaran air kebadan sungai yang penuh dengan sampah noda manusia dan lumpur endapan limbah hasil cerutu raksasa dipinggiran sungai, sedang badan sungai pun sudah tak sanggup lagi menampung bahkan telah meluap dan siap memuntahkan air itu pemukiman penduduk menjadikan sungai itu bagaikan bom air yang tak ada seorang pun tahu kapan akan meledak dan meluluh lantakan pemukiman penduduk dan fasilitas kota, tapi kini telah terlambat rupanya  bom air itu telah dikehendaki tuhan untuk meledak mulai menerjang dengan hantaman yang keras dan turut serta membawa lumpur ke badan jalan, rumah-rumah warga, gang sempit bahkan menjadikan pabrik- pabrik bermandikan air kotor sungai yang bercampur sampah dan lumpur hasil noda mereka sendiri sampai hingga ke pusat kota.
Air itu menghantam tembok rumah warga dengan kuat dan merobohkannya membuat pemilik rumah yang sedang terlelap tertimpa reruntuhan tembok tak sempat menyelamatkan diri, teriakan warga saling bergema dan meraung-raung mecari pertolongan, terdengar dalam setiap raungan mereka keputus asaan dan kesakitan, membuat kepanikan luar biasa bagi mereka yang masih terjaga mereka berteriak memberitahu bahwa banjir yang begitu dahsyat telah tiba, para orang tua tertimpa reruntuhan bangunan yang terhantam air layaknya tsunami yang menerjang pantai, anak-anak terseret air dan menenggelamkannya hingga tak mampu untuk kembali bernafas, melanjutkan kehidupan dan bermain yang dipenuhi canda dan tawa. Ketika tenggelam mungkin dari mereka ada yang baru ingat akan tuhannya dan mungkin dalam hati baru berkata dan memin
Kini itu semua telah terjadi, isakan warga yang kehilangan anggota keluarganya tampak memenuhi sudut-sudu kota, korban banjir itu berserakan dimana-mana seperti kacang polong yang tumpah dari mangkuk, sampai ada yang terbawa arus hingga ke bahu jalanan, yang membedakan korban itu, dipenuhi lebam yang Nampak kebiruan akibat sulit bernafas, luka ditubuh akibat tertimpa dan menabrak bangunan atau barang lain, mereka tergelatak tak berdaya akibat ulah bencana yang tanpa mereka sadari merupakan hasil buah tangan mereka selama ini, mereka yang tak berdosa pun ikut terkena dampaknya.
Terlihat seorang ibu mengangis tersedu-sedu sambil berjongkok dan mengusap kening anaknya yang terhalang rambut panjangnya, anak semata wayangnya yang tak tertolong akibat tenggelam dan tak sempat ia bawa ketempat yang lebih aman , wajah anak itu terlihat lebam kebiruan, ibu tersebut hanya mampu menangis, ia tak tahu harus bagaimana menyalahkan siapa.
Sang ibu teringat ucapan anaknya itu ketika ingin menjadi seorang guru yang mengabdi untuk negara menjadikan anak-anak memiliki ilmu kini mimpinya terhempas hilang bersama terjangan banjir kini ia hanya tersenyum pedih berusaha untuk tetap tegar, ibu mana yang tak akan sedih ketika melihat anak satu-satunya meregang nyawa dihadapannya dicabut nyawa nya oleh malaikat  maut dengan kuasa tuhan lewat bencana banjir “Ya Tuhan, mengapa kau mengambil anakku ?, anak satu-satunya kami setelah penantian lama, menunggu dalam naungan do’a kami padamu. Apakah kami telah berbuat salah hingga engkau mengambil kembali hambamu itu. Bahkan ketika ia tak pernah sekalipun menggapai asa menuju cita-citanya” Ibu itu mengelah nafas dan kembali terus mengajak anaknya bercakap “nak, kamu tau kami sangat meyangimu melebihi apapun terutama ibu, kami memang terkadang sangat lelah dan letih menghadapi cobaan hidup dan pekerjaan ini, tapi percayalah bahwa ketika kamu tersenyum , semua beban itu terasa luruh begitu saja dalam hidup kami, ketika kamu berceloteh menceritakan bagaimana sekolahmu, teman bermain mu, dan cita-citamu dengan semangat menggebu-gebu dan wajah yang terus memancarkan senyuman , itu adalah kebahagian terbesar kami. Kami merasa bahwa kamu adalah anugerah terindah dari Tuham. Nak semoga di surga kelak , kamu lebih bahagia. Maafkan kami orang tuamu yang tak berdaya menyelamatkan nyawamu.” raungnya dalam hati sambil terus terisak-isak . begitu pula seorang anak yang menangis terisak-isak sambil melihat tubuh seorang wanita yang dicintainya, pelindungnya, sang panutannya terbujur kaku dengan luka dan memar disana sini akibat terhantam benda keras yang terbawa banjir . ia bingung bagaimana jalan hidupnya nanti ia terus terisak sambil memeluk tubuh wanita itu dengan ketakukan “ mama bangun, mama jangan bercanda, jangan tinggalin kaka sendiri. kaka takut, kaka sama siapa nanti, maafin kaka ketika mama berbicara kaka tak pernah peduli, ketika mama menegur tak pernah kaka tanggapi, mah, maaf kaka selama hidup ini selalu membuat mama kecewa tapi mama tak pernah sekalipun mengeluh, walau pun dengan wajah yang sudah terlihat Lelah tetap bekerja demi kaka, ketika ayah tiada mamah yang jadi pelindung dan tulang punggung untuk keluarga ini , mah sekarang kaka tinggal sendiri di dunia yang kejam ini . Ya Tuhan aku meminta kepadamu walaupun aku selalu lalai akan perintahmu, melupakan mu tapi sekarang tolong terimalah taubatku serta terimalah ibuku disisimu, maafkan dosa-dosanya jadikanlah ia bidadari surga-Mu” anak itu terus berkata dengan sesekali tersengguk-senggung ketika mengucapkannya, sekalipun anak itu telah dewasa ia tetaplah anak yang membutuhkan pelindung, tempat bersandar ketika bersedih kepada orang tuanya. Tak sedikit warga yang melihat anak itu ikut teriris hatinya, bahkan ada yang tak sanggup membendung air matanya. Perlahan anak tersebut dihampiri beberapa warga dan berusaha memisahkan ia dengan jenazah ibunya yang terbujur kaku agar segera dibawa tim medis, anak tersebut semakin mengeratkan pelukannya pada sang ibu dan berkata“lepasin , itu mamaku, mamaku lagi tidur pengen kaka temenin kasihan mama sendirian “ orang-orang terdiam dan ikut merasakan kesedihan anak tersebut tapi mereka tetap berusaha melepaskan pelukan anak tersebut dan berusaha memberikan pengertian bahwa ibunya telah pergi kembali pada Yang Maha Kuasa.
Semua bersedih, semua sakit ketika ditinggalkan orang terkasih tapi apalah daya ketika ketika nasi telah menjadi bubur, sulit untuk orang peduli akan dampak yang diperbuat nanti dimasa depan . memang benar bencana ini semua bukan semata-mata begitu saja terjadi oleh mereka tapi Tuhan dengan segala kebaikannya ketika memberi teguran yang ringan tak pernah sekalipun didengar tetap terus memberikan kenikmatan hidup, hingga teguran keras melayang pada mereka bukan karena Tuhan sudah tidak saying, tetapi Tuhan lebih menyayangi mereka janganlah keburukan terus berlanju hingga kebajikan terlupakan, kini mereka yang berpikir selalu menagungkan logika malah terus berkata bahwa ini semua akibat alam, akibat hujan besar yang terus terjadi, terus menutup diri dengan segala omongan yang seolah menutupi dirinya bahwa merekalah sendiri yang ikut ambil bagian dalam menciptakan malapetaka, jika mereka memiliki hati nurani, memiliki keteguhan iman, memiliki inisiatif untuk menghasilkan uang dengan sehat dan halal serta memperhatikan dan menerima teguran tuhan dengan hati yang lapang dan mau berubah maka itu semua mungkin tidak terjadi.
Tak ada yang tahu mungkin saja jika kebajikan lebih banyak daripada kenistaan, tuhan akan tetap mempertahankan sang surya pembawa kebahagiaan bukan membawa hujan besar yang mengguyur hati dengan kekelaman dan duka yang mendalam
Apalah arti ucapan yang baik dan mewawan ketika hanya berucap tanpa dilaksanakan, hidup itu bukan untuk mencari kesenagan tetapi untuk mencari jati diri dan bertanya pada diri sendiri telah pantaskah ia di beri kehidupan oleh sang tuhan. Yang terlihat baik belum tentu berdampak baik.












Purwakarta, Oktober 2016
M Fahri Setiono

0 comments:

Post a Comment