PENDAHULUAN
Kerajaan Mataram ini ialah Kerajaan
yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa timur
pada abad ke-10. Kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa
prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun
banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Budha. Kerajaan Mataram ini dikenal dari sebuah
prasasti yang ditemukan di desa Canggal (Barat daya manggelang). Prasasti ini
ada sekitar tahun 732 M, ditulis dengan huruf Pallawa dan diubah dakam bahasa sansekerta
yang indah sekali. Isinya terutama adalah memperingati didirikannya sebuah
lingga (lambang siwa) di atas sebuah bukit di daerah kunjarakunja oleh raja
Sanjaya. Daerah ini letaknya di sebuah
pulau yang mulia, Yawadwipa, yang kaya raya akan hasil bumi, terutama
padi dan emas. Yawadwipa ini mula-mula diperintah oleh raja Sanna, yang lama
sekali memerintah dengan kebijaksanaan dan kehalusan budi. Setelah raja Sanna
wafat, pecahlah negaranya, kebingungan karena kehilangan perlindungan. Naiklah
keatas takhta kerajaan raja Sanjaya, anak Sannaha (saudara perempuan Sanna), seorang raja yang
ahli dalam kitab-kitab suci dan dalam keprajurutan. Ia menaklukan berbagai
daerah di sekitar kerajaannya, dan menciptakan ketentraman serta kemakmuran
yang dapat dinikmati oleh rakyatnya.
Mendirikan sebuah Lingga secara khusus
adalah lambang mendirikan suatu kerajaan. Bahwa Sanjaya dianggap sebagai
Wamcakarta dari kerajaan Mataram, ternyata juga dari prasasti-prasasti para
raja yang berturut-turut menggantikannya.
Diantara prasasti-prasasti itu ada beberapa dari Balitung yang memuat silsilah,
dan yang menjadi pangkal silsilah itu rakyat Mataram sang Ratu Sanjaya. Bahkan
ada pula prasasti yang menggunakan tarikh Sanjaya. Dari kedua kenyataan itu
jelas betapa besarnya arti Sanjaya itu bagi raja-raja yang lerajaannya berpusat
di Jawa Tengah sampai abd ke-10.
Adapun lingga yang didirikan oleh Sanjaya
itu tempatnya iyalah digunung Wukir di desa Canggal. Disini terdapat sisa-sisa
sebuah candi induk dengan3 candi perwara di depannya. Didalam candi induk itu
tidak lagi terdapatkanlingganya, yang ada iyalah sebuah Yoni besar sekali, dan
umumnya yoni itu merupakan landasan bagi sebuah lingga. Di halaman candi inilah
prasasti Canggal itu ditemukan.[1][1]
II.
PEMBAHASAN
A.
Asal-usul kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram kuno adalah salah
satu kerajaan Hindu yang banyak meninggalkan sejarah melalui prasasti dan benda
arkeologi yang ditemukan. Kerajaan ini pada awalnya berdiri di wilayah Jawa
Tengah yang juga di kenal sebagai kerajaan Medang.
Kerajaan Mataram kuno atau Mataram
Hindu merupakan kerajaan Hindu yang pernah berjaya dengan dua dinasti . Dinasti
yang pernah berjaya memimpin Mataram kuno yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti
Syailendra. Kerajaan ini berkuasa pada Jawa Tengah bagian selatan . Kerajaan
ini berdiri pada abad ke-8 di Jawa Tengah.
Kerajaan ini juga sering disebut
sebagai kerajaan Medang, kerajaan Mataram kuno dan kerajaan Mataram Hindu. Nama
yang lazim di pakai untuk menyebut kerajaan Medang periode Jawa Tengah adalah
kerajaan Mataram ,yaitu merujuk kepada salah satu daerah di Ibu kota kerajaan
ini, untuk membedakannya dengan kerajaan Mataram Islam.Pada abad ke-10 kerjaan
ini berpindah ke Jawa Timur.
Secara umum, nama kerajaan Medang
merupakan penyebutan untuk kerajaan Mataram hanya pada masa kerajaan Mataram
waktu berpusat di JawaTimur. Hal tersebut didasarkan pada adanya
penemuan-penemuan prasasti yang berisikan tentang kerajaan Mataram.Dalam
beberapa bukti prasasti tersebut diungkapkan bahwa penggunaan nama kerajaan
Medang sudah digunakan sejak kerajaan Mataram ada di Jawa Tengah sebelum pindah
ke Jawa Timur.
Secara umum kerajaan Mataram Kuno
pernah dipimpin oleh tiga dinasti yang
berkuasa pada waktu itu.Yaitu Wangsa Sanjaya,Wangsa Sailendra,Wangsa Isana.
Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra merupakan dua dinasti dari kerajaan Mataram
kuno yang berpusat di JawaTengah,sedangkan Wangsa Isana berpusat di JawaTimur.
B.
Perkembangan kerajaan Mataram
DINASTY SANJAYA
Bukti-bukti berdirinya Dinasti Sanjaya
dapat diketahui melalui :
1.
Prasasti
Canggal (daerah Kedu) tahun 732 M, prasasti Balitung, Kitab Carita Parahyangan.
Prasasti Canggal (732 M) Prasasti ini dibuat pada masa pemerintahan Raja
Sanjaya yang berhubungan dengan pendirian lingga yang merupakan perwujudan Dewa
Siwa. Hal ini menunjukkan bahwa agama yang dianutnya adalah agama Hindu.
2.
Prasasti
Balitung/ Mantyasih (907 M) Prasasti ini adalah prasasti tembaga yang
dikeluarkan oleh Raja Diah Balitung(Wangsa Sanjaya ke-9). Diah Balitung
mengeluarkan prasasti ini sehubungan dengan pemberian hadiah tanah kepada lima
orang patihnya di Mantyasih, karena kelima patihnya itu telah berjasa besar
terhadap kerajaan. Dalam prasasti itu disebutkan nama raja yang pernah
memerintah pada Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya. Kitab Carita Parahyangan
Kitab ini menceritakan tentang hal ikhwal raja-raja Sanjaya.
Penggunaan nama wangsa sanjaya didasarkan pada nama
raja pertama kerajaan Medang. Nama dari raja tersebut adalah Sanjaya.Raja
kerajaan ini menganut agama Hindu atau siwa. Rakai pikatan yang waktu itu
menjadi pangeran dinasti sanjaya, menikah dengan pramodawardhani, puteri raja dinasti Sailendra Samaratungga.
Sejak saat itu corak kebudayaan Hindu mulai dianut oleh masyarakat
Mataram.Menurut prasasti canggal wangsa ini didirikan pada tahun 732 M oleh
Sanjaya. Tak banyak yang diketahui pada masa awal wangsa Sanjaya.
Raja-raja pada wangsa sanjaya.
1. Ratu Sanjaya
Ratu Sanjaya alias Rakai Mataram
menempati urutan pertama dalam daftar para raja Kerajaan Medang versi prasasti
Mantyasih, yaitu prasasti yang dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung tahun
907. Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tanggal 6 Oktober 732
tentang pendirian sebuah lingga serta bangunan candi untuk memuja Siwa di atas
sebuah bukit. Candi tersebut kini hanya tinggal puing-puing reruntuhannya saja,
yang ditemukan di atas Gunung Wukir, dekat Kedu.
Prasasti Canggal ternyata tidak
menyebutkan nama kerajaan yang dipimpin Sanna dan Sanjaya. Sementara itu
prasasti Mantyasih menyebut Sanjaya sebagai raja pertama Kerajaan Medang,
sedangkan nama Sanna sama sekali tidak disebut. Mungkin Sanna memang bukan raja
Medang. Dengan kata lain, Sanjaya mewarisi takhta Sanna namun mendirikan sebuah
kerajaan baru yang berbeda. Kisah yang agak mirip terjadi pada akhir abad
ke-13, yaitu Raden Wijaya mewarisi takhta Kertanagara raja terakhir Singasari,
namun ia mendirikan kerajaan baru bernama Majapahit.
Pada zaman Kerajaan Medang terdapat
suatu tradisi mencantumkan jabatan lama di samping gelar sebagai maharaja.
Misalnya, raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907 M) adalah Sri Maharaja
Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu. Itu artinya, jabatan lama
Dyah Balitung sebelum menjadi raja Medang adalah sebagai kepala daerah Watukura.
Sementara itu gelar Sanjaya sebagai
raja adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Dapat diperkirakan ketika Sanna
masih berkuasa, Sanjaya bertindak sebagai kepala daerah Mataram (daerah
Yogyakarta sekarang). Daerah Mataram inilah yang kemungkinan besar dipakai
sebagai lokasi ibu kota ketika Sanjaya mendirikan Kerajaan Medang. Itulah
sebabnya, Kerajaan Medang juga terkenal dengan sebutan Kerajaan Mataram.
Sementara itu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung, ibu kota Kerajaan Medang
sudah tidak lagi berada di Mataram, melainkan pindah ke Poh Pitu.
Kapan tepatnya Kerajaan Medang
berdiri tidak diketahui dengan pasti. Seorang keturunan Sanjaya bernama Mpu
Daksa memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa atau kalender Sanjaya. Menurut
analisis para sejarawan, tahun 1 Sanjaya bertepatan dengan tahun 717 M. Angka
tahun tersebut menimbulkan dua penafsiran, yaitu tahun penobatan Sanjaya
sebagai raja, atau bisa juga merupakan tahun kelahiran Sanjaya.
Apabila Sanjaya naik takhta pada
tahun 717 M, berarti saat prasasti Canggal (732 M) dikeluarkan, Kerajaan Medang
sudah berusia 15 tahun. Sementara itu apabila 717 M adalah tahun kelahiran
Sanjaya, berarti saat mengeluarkan prasasti Canggal ia masih berusia 15 tahun
dan sudah menjadi raja. Dengan kata lain, Sanna mengangkat Sanjaya sebagai
kepala daerah Mataram sejak keponakannya itu masih anak-anak (sama seperti
Jayanagara pada zaman Majapahit).
2. Rakai Pikatan
Rakai Pikatan, yang waktu itu
menjadi pangeran Wangsa Sanjaya, menikah dengan Pramodhawardhani (833-856 M),
puteri raja Wangsa Syailendara Samaratungga. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang
bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan Agama Buddha. Rakai
Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa, dan pada tahun 850 M, Wangsa
Sanjaya kembali menjadi satu-satunya penguasa Mataram. Prasasti Wantil disebut
juga prasasti Siwagreha yang dikeluarkan pada tanggal 12 November 856 M.
Prasasti ini selain menyebut pendirian istana Mamratipura, juga menyebut
tentang pendirian bangunan suci Siwagreha, yang diterjemahkan sebagai Candi
Siwa. Candi Siwa identik dengan salah satu candi utama pada komplek Candi
Prambanan. Dengan demikian, bangunan utama pada komplek tersebut dibangun oleh
Rakai Pikatan, sedangkan candi-candi kecil lainnya mungkin dibangun pada masa
raja-raja selanjutnya.
3. Rakai Kayuwangi
Sebenarnya kurang tepat apabila
Rakai Kayuwangi disebut sebagai raja Kerajaan Mataram karena menurut prasasti
Wantil, saat itu istana Kerajaan Medang tidak lagi berada di daerah Mataram,
melainkan sudah dipindahkan oleh Rakai Pikatan (raja sebelumnya) ke daerah
Mamrati, dan diberi nama Mamratipura.
Rakai Kayuwangi adalah putra bungsu
Rakai Pikatan yang lahir dari permaisuri Pramodawardhani. Nama aslinya adalah
Dyah Lokapala (prasasti Wantil) atau Mpu Lokapala (prasasti Argapura). Menurut
prasasti Wantil atau prasasti Siwagerha tanggal 12 November 856, Dyah Lokapala
naik takhta menggantikan ayahnya, yaitu Sang Jatiningrat (gelar Rakai Pikatan
sebagai brahmana). Pengangkatan putra bungsu sebagai raja ini didasarkan pada
jasa kepahlawanan Dyah Lokapala dalam menumpas musuh ayahnya, yang bermarkas di
timbunan batu di atas bukit Ratu Baka.
Teori populer menyebut nama musuh
tersebut adalah Balaputradewa karena pada prasasti Wantil terdapat istilah
walaputra. Namun, sejarawan Buchari tidak menjumpai prasasti atas nama
Balaputradewa pada situs bukit Ratu Baka, melainkan atas nama Rakai Walaing Mpu
Kumbhayoni. Adapun makna istilah walaputra adalah putra bungsu, yaitu julukan
untuk Dyah Lokapala yang berhasil menumpas musuh ayahnya tersebut.
Jadi, pada akhir pemerintahan Rakai
Pikatan terjadi pemberontakan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang mengaku sebagai
keturunan pendiri Wangsa Sanjaya. Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas oleh
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala alias Sang Walaputra, sehingga ia mendapat
dukungan rakyat untuk naik takhta menggantikan ayahnya. Teori pemberontakan
Rakai Walaing ini telah membantah teori populer tentang adanya perang saudara
antara Balaputradewa melawan Pramodawardhani dan Rakai Pikatan sepeninggal
Samarottungga.
4. Rakai Watuhumalang
Menurut daftar para raja Kerajaan
Medang dalam prasasti Mantyasih, Rakai Watuhumalang menjadi raja kedelapan
menggantikan Rakai Kayuwangi. Prasasti tersebut dikeluarkan tahun 907 M oleh
Dyah Balitung, yaitu raja sesudah Rakai Watuhumalang. Rakai Watuhumalang
sendiri tidak meninggalkan prasasti atas nama dirinya. Sementara itu prasasti
Panunggalan tanggal 19 November 896 M menyebut adanya tokoh bernama Sang
Watuhumalang Mpu Teguh, namun tidak bergelar maharaja, melainkan hanya bergelar
haji (raja bawahan).
Tidak dapat dipastikan apakah Mpu
Teguh identik dengan Rakai Watuhumalang. Apabila keduanya benar-benar tokoh
yang sama, maka dapat dibayangkan bahwa masa pemerintahan Rakai Watuhumalamg
sangat singkat. Pada tahun 896 M ia masih menjadi raja bawahan, sedangkan pada
tahun 899 (prasasti Telahap) yang menjadi raja sudah bernama Dyah Balitung.
5. Rakai Watukura Dyah Balitung
Dyah Balitung berhasil naik takhta
karena menikahi putri raja sebelumnya. Kemungkinan besar raja tersebut adalah
Rakai Watuhumalang yang menurut prasasti Mantyasih memerintah sebelum Balitung.
Mungkin alasan Dyah Balitung bisa naik takhta bukan hanya itu, mengingat raja
sebelumnya ternyata juga memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap).
Alasan lain yang menunjang ialah keadaan Kerajaan Medang sepeninggal Rakai
Kayuwangi mengalami perpecahan, yaitu dengan ditemukannya prasasti Munggu Antan
atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi dan prasasti Poh Dulur atas nama Rakai
Limus Dyah Dewendra.
Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung
yang merupakan menantu Rakai Watuhumalang (raja Medang pengganti Rakai
Kayuwangi) berhasil menjadi pahlawan dengan menaklukkan Rakai Gurunwangi dan
Rakai Limus sehingga kembali mengakui kekuasaan tunggal di Kerajaan Medang.
Maka, sepeninggal Rakai Watuhumalang, rakyat pun memilih Balitung sebagai raja
dari pada iparnya, yaitu Mpu Daksa. Pada masa pemerintahan Dyah Balitung,
istana Kerajaan Medang tidak lagi berada di daerah Mataram, ataupun Mamrati,
melainkan sudah dipindahkan ke daerah Poh Pitu yang diberi nama Yawapura.
Hal ini dimungkinkan karena istana
Mamratipura (yang dulu dibangun oleh Rakai Pikatan) telah rusak akibat perang
saudara antara Rakai Kayuwangi melawan Rakai Gurunwangi. Prasasti tertua atas
nama Balitung yang berhasil ditemukan adalah prasasti Telahap tanggal 11
September 899 M. Namun bukan berarti ini adalah prasasti pertamanya, atau
dengan kata lain, bisa jadi Balitung sudah naik takhta sebelum tahun 899 M.
Disusul kemudian prasasti Watukura
tanggal 27 Juli 902 M. Prasasti tersebut adalah prasasti tertua yang
menyebutkan adanya jabatan Rakryan Kanuruhan, yaitu semacam jabatan perdana
menteri. Sementara itu jabatan Rakryan Mapatih pada zaman Balitung merupakan
jabatan putra mahkota yang dipegang oleh Mpu Daksa.
Prasasti Telang tanggal 11 Januari
904 M berisi tentang pembangunan komplek penyeberangan bernama Paparahuan yang
dipimpin oleh Rakai Welar Mpu Sudarsana di tepi Bengawan Solo. Balitung
membebaskan pajak desa-desa sekitar Paparahuan dan melarang para penduduknya
untuk memungut upah dari para penyeberang.
Prasasti Poh tanggal 17 Juli 905 M berisi pembebasan
pajak desa Poh untuk ditugasi mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan
Silunglung peninggalan raja sebelumnya yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai
Pikatan. Raja ini merupakan kakek dari Mpu Daksa dan permaisuri Balitung.
Prasasti Kubu-Kubu tanggal 17 Oktober 905 M berisi anugerah desa Kubu-Kubu
kepada Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan karena
keduanya berjasa memimpin penaklukan daerah Bantan. Beberapa sejarawan
menafsirkan Bantan sebagai nama lain dari Bali. Istilah Bantan artinya korban,
sedangkan Bali artinya persembahan.
Prasasti Mantyasih tanggal 11 April
907 M berisi tentang anugerah kepada lima orang patih bawahan yang berjasa dalam
menjaga keamanan saat pernikahan Dyah Balitung. Dalam prasasti ini disebutkan
pula urutan raja-raja Medang yang memerintah sebelum dirinya. Pada tahun 907 M
tersebut Balitung juga memberikan desa Rukam sebagai hadiah untuk neneknya yang
bernama Rakryan Sanjiwana dengan tugas merawat bangunan suci di Limwung.
6. Mpu Daksa
Mpu Daksa naik takhta menggantikan
Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya. Hubungan kekerabatan ini
berdasarkan bukti bahwa Daksa sering disebut namanya bersamaan dengan istri Balitung
dalam beberapa prasasti. Selain itu juga diperkuat dengan analisis sejarawan
Boechari terhadap berita Cina dari Dinasti Tang berbunyi Tat So Kan Hiung, yang
artinya "Daksa, saudara raja yang gagah berani".
Dyah Balitung diperkirakan naik
takhta karena menikahi putri raja sebelumnya, sehingga secara otomatis Mpu
Daksa pun disebut sebagai putra raja tersebut. Kemungkinan besar raja itu ialah
Rakai Watuhumalang yang memerintah sebelum Balitung menurut prasasti Mantyasih.
Menurut prasasti Telahap, Mpu Daksa adalah cucu dari Rakryan Watan Mpu Tamer,
yang merupakan seorang istri raja yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai
Pikatan. Dengan demikian, Daksa dapat disebut sebagai cucu dari Rakai Pikatan.
Prasasti Plaosan yang dikeluarkan oleh Rakai Pikatan juga menyebut adanya tokoh
bernama Sang Kalungwarak Mpu Daksa.
7. Rakai Layang Dyah Tulodhong
Dyah Tulodhong dianggap naik takhta
menggantikan Mpu Daksa. Dalam prasasti Ritihang yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa
terdapat tokoh Rakryan Layang namun nama aslinya tidak terbaca. Ditinjau dari
ciri-cirinya, tokoh Rakryan Layang ini seorang wanita berkedudukan tinggi, jadi
tidak mungkin sama dengan Dyah Tulodhong. Mungkin Rakryan Layang adalah putri
Mpu Daksa. Dyah Tulodhong berhasil menikahinya sehingga ia pun ikut mendapatkan
gelar Rakai Layang, bahkan naik takhta menggantikan mertuanya, yaitu Mpu Daksa.
Dalam prasasti Lintakan Dyah
Tulodhong disebut sebagai putra dari seseorang yang dimakamkan di Turu
Mangambil. Prasasti Lintakan tanggal 12 Juli 919 M adalah prasasti tertua yang
pernah ditemukan dengan menyebut Tulodhong sebagai raja. Dalam pemerintahannya,
yang menduduki jabatan Rakryan Mapatih Hino bernama Mpu Ketuwijaya yang juga
bergelar Sri Ketudhara Manimantaprabha Prabhusakti. Sedangkan yang menjabat
Rakryan Halu adalah Mpu Sindok.
Prasasti Harinjing Tanggal 19
September 921 M berisi pengukuhan anugerah untuk anak-anak Bhagawanta Bhari
yang berjumlah 12 orang dan tersebar di mana-mana. Bhagawanta Bhari adalah
tokoh yang berjasa membangun bendungan pencegah banjir. Ia sendiri telah
mendapat anugerah dari raja sebelumnya. Prasasti untuk anak-anak Bhagawanta
Bhari diperbaharui lagi pada tanggal 7 Maret 927 M, di mana mereka mendapatkan
desa Culanggi sebagai sima swatantra (daerah bebas pajak). Pembaharuan tersebut
dilakukan oleh Rakai Hino Mpu Ketuwijaya, atas saran dari Rakai Sumba yang
menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah.
8. Rakai Sumba Dyah Wawa
Dyah Wawa naik takhta menggantikan
Dyah Tulodhong. Nama Rakai Sumba tercatat dalam prasasti Culanggi tanggal 7 Maret
927, menjabat menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah, yaitu semacam pegawai
pengadilan. Selain bergelar Rakai Sumba, Dyah Wawa juga bergelar Rakai
Pangkaja. Dyah Wawa tidak memiliki hak atas takhta Dyah Tulodhong. Sejarawan
Boechari berpendapat bahwa Dyah Wawa melakukan kudeta merebut takhta Kerajaan
Medang.
Kemungkinan besar kudeta yang
dilakukan oleh Dyah Wawa mendapat bantuan dari Mpu Sindok, yang naik pangkat
menjadi Rakryan Mapatih Hino. Sebelumnya, yaitu pada masa pemerintahan Dyah
Tulodhong, Mpu Sindok menjabat sebagai Rakryan Halu, sedangkan Rakai Hino
dijabat oleh Mpu Ketuwijaya. Peninggalan sejarah Dyah Wawa berupa prasasti
Sangguran tanggal 2 Agustus 928 M tentang penetapan desa Sangguran sebagai sima
swatantra (daerah bebas pajak) agar penduduknya ikut serta merawat bangunan
suci di daerah Kajurugusalyan.
Beberapa hal yang menyebabkan
perpindahan kerajaan Mataram kuno di Jawa Tengah ke Jawa Timur yaitu:
1. Perpindahan
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada permulaan abad 10 A.D. fakta ini didahului
dengan perpindahan perhatian dari raja-raja Jawa Tengah secara
berangsur-angsur ke Jawa Timur.
2. Kemungkinan
dari alasan-alasan politis yang dikemukakan oleh Dr,J.G.de Casparis.
3. Terjadinya
serangan musuh ke dalam keraton atau kaliyuga.
4. Menurut
Dr.R.W.Van Bemmelen mengatakan bahwa ia menemukan tanda-tanda dari ledakan
gunung merapi pada masa lampau, Bagian sebelah barat meledak dan mengalir ke
bawah dengan kecepatan penuh,sehingga terbentuk bukti-bukti gendol.
Menueut
pendapat Boechari,kita perlu data-data yang lebih teoat tentang terjadinya
bencana alam itu,kalau dapat dibuktikan bahwa itu terjadi pada sekitar awal
abad 10 A.D, maka dapat dipastikan bahwa memang benar ledakan inilah yang
menyebabkan perpindahan Ibu kota,kami memikirkan kemungkinan bahwa ibu kota
dihancurkan oleh gempa bumi atau aliran lava atau keduanya.
5. Salah satu
daerah yang subur ditinggalkan ,karena mereka menjadi tidak berpenduduk dan
tidak dapat untuk bertani s\dalam waktu
yang lama, ini dianggap sebagai faktor Ekonomi.
Pada abad
ke-10, Dyah Wawa mempersiapkan stategi suksesi Empu Sindok yang memiliki
integritas dan moralitas sebagai calon pemimpin Mataram. Pada saat itulah
pemerintahan Dyah Wawa mengalami kemunduran. Empu Sendok yang memegang
pemerintahan setelah Dyah Wawa meninggal merasa khawatir terhadap serangan yang
dilancarkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Empu Sendok memindahkan pusat
pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur Sumber lain menyebutkan
perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur disebabkan oleh meletusnya gunung
merapi di Jawa Tengah.
DINASTI SYAILENDRA
Pada akhir abad 8 M di Jawa
Tengah bagian selatan, yaitu di daerah Bagelan dan Yogyakarta, muncul dinasti baru yaitu diasti
saylendra. Dinasti ini akhirnya berhasil mendesak dinasti sanjaya ketika
dinasti sanjaya diperintah panagkaran. Keterangan ini dapat dilihat dari
prasasti kalasan (778) yang menyebutkan “panagkaran seolah-seolah diperintah
oleh raja wisnu untuk mendirikan candi kalasan”. Dari isi prasasti kalasan
dapat diambil kesimpulan bahwa kerajaan dinasti sanjaya terdesak oleh dinasti
saylendra dan bisa jadi sanjaya hidup berdampingan dengan dinasti saylendra.
Keluarga wangsa Sailendra di sini
menganut agama Buddha Mahayana. Buddha berkembang di Jawa Tengah pada abad ke-8
M. Namun keberadaan agama Hindu tidak tersingkirkan sebab hal tersebut.
Nampaknya, kedua agama itu telah bersenyawa(sinkretis). Unsur-unsur tersebut
jelas terdapat pada candi dan kitab-kitab kedua agama tersebut, seperti candi
Borobudur,Prambanan. Kitab Sang Hyang Kamahayanikan dan Sutasoma”.[2][2]
Kehidupan
sosial Kerajaan Mataram Dinasti Syailendra ditafsirkan telah teratur. Hal ini
dilihat dari pembuatan Candi yang menggunakan tenaga rakyat secara bergotong
royong. Dari segi budaya Kerajaan Dinasti Syailendra juga banyak meninggalkan
bangunan-bangunan megah dan bernilai.
Berdasarkan
bukti-bukti peninggalan Kerajaan Syailendra yang berupa candi-candi, wilayah
kekuasaan Syailendra meliputi wilayah Jawa Tengah bagian selatan, yaitu wilayah
Yogyakarta dan sekitarnya. Pada masa pemerintahan Raja Balaputra Dewa,
diketahui bahwa pusat kedudukan Kerajaan Syailendra terletak di daerah
pegunungan di sebelah selatan. Hal mi berdasar pada letak peninggalan istana
Ratu Boko.
Sumber sejarah Kerajaan Syailendra
tidak begitu banyak yang berhasil diketahui, baik berupa prasasti maupun
peninggalan-peninggalan arkeologi. Prasasti-prasasti yang berhasil ditemukan di
antaranya sebagai berikut.
Prasasti Kalasan (778 M) Prasasti
ini menyebutkan tentang seorang raja dari Dinasti Syailendra (Kerajaan
Syailendra) yang berhasil menunjuk Rakai Panangkaran untuk mendirikan satu
bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah bihara untuk para pendeta. Rakai
Panangkaran akhirnya meng-hadiahkan Desa Kalasan kepada Sanggha Buddha.
Prasasti Kelurak (782 M) di daerah
Prambanar Prasasti ini menyebutkan pembuatan area Manjusri yang merupakan
perwujudan Sang Buddha, Wisnu, Manjusri dan Sanggha, yang dapat disamakan
dengan Brahma, Wisnu, Siwa. Prasasti ini juga menyebut nama raja yang
memerintah saat itu, yang bernama Raja Indra.
Prasasti Ratu Boko (856 M) Prasasti
ini menyebutkan kekalahan Raja Balaputra Dewa dalam perang saudara melawan
kakaknya Pramodhawardani dan selanjutnya melarikan diri ke Sriwijaya.
Prasasti Nalanda (860 M) Prasasti ini menyebutkan tentang asal usul Raja Balaputra Dewa. Disebutkan bahwa Balaputra Dewa adalah. putra dari Raja Samarotungga dan cucu dari Raja Indra (Kerajaan Syailendra di Jawa Tengah).
Prasasti Nalanda (860 M) Prasasti ini menyebutkan tentang asal usul Raja Balaputra Dewa. Disebutkan bahwa Balaputra Dewa adalah. putra dari Raja Samarotungga dan cucu dari Raja Indra (Kerajaan Syailendra di Jawa Tengah).
Berdasarkan prasasti yang telah ditemukan dapat
diketahui raja-raja yang pernah memerintah Dinasti Syailendra, di antaranya:
Raja Indra Dinasti Syailendra menjalankan politik ekspansi pada masa
pemerintahan Raja Indra. Periuasan wilayah ini ditujukan untuk menguasai
daerah-daerah sekitar Selat Malaka. Selanjutnya, yang memperkokoh pengaruh
kekuasaan Syailendra terhadap Sriwijaya adalah karena Raja Indra menjalankan
pernikahan politik. Raja Indra mengawinkan putranya yang bernama Samarottungga
dengan putri Raja Sriwijaya.
Raja Samarottungga Pengganti Raja Indra bernama Samarottungga. Fada zaman kekuasaannya dibangun Candi Borobudur. Namun sebelum pembangunan Candi Borobudur selesai, Raja Samarottungga meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Balaputra Dewa yang merupakan anak dari selir. Tetapi sebenamya yang berhak menggantikan adalah putrinya yang lahir dari permaisuri yang bernama Pramodhawardani. Dia menolak, karena tidak mungkin sanggup untuk memerintah. Akhirnya tahta kerajaan diserahkan kepada Balaputra Dewa (adik tirinya).
Raja Samarottungga Pengganti Raja Indra bernama Samarottungga. Fada zaman kekuasaannya dibangun Candi Borobudur. Namun sebelum pembangunan Candi Borobudur selesai, Raja Samarottungga meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Balaputra Dewa yang merupakan anak dari selir. Tetapi sebenamya yang berhak menggantikan adalah putrinya yang lahir dari permaisuri yang bernama Pramodhawardani. Dia menolak, karena tidak mungkin sanggup untuk memerintah. Akhirnya tahta kerajaan diserahkan kepada Balaputra Dewa (adik tirinya).
Kerajaan Syailendra
banyak meninggalkan bangunan-bangunan candi yang sangat megah dan besar
nilainya, baik dari segi kebudayaan, kehidupan masyarakat dan perkembangan
kerajaan. Candi-candi yang terkenal seperti telah disebutkan di atas adalah
Candi Mendut, Pawon, Borobudur, Kalasan, Sari, dan Sewu.
Nama Borobudur
diperkirakan berasal dari nama Bhumi Sambhara Budhara. Bhumi Sambhara berarti
bukit atau gunung dan Budhara berarti “raja”. Jadi arti dari nama tersebut
adalah Raja Gunung, yang sama artinya dengan Syailendra. Candi Borobudur
memiliki suatu sistem yang terbagi dalam tiga bagian yaitu Kamadhatu,
Rupadhatu, dan Arupadhatu.
Berapa sejarahwan
berusaha menjelaskan berakhirnya kekuasaan Sailendra di Jawa Tengah
mengaitkannya dengan kepindahan Balaputradewa ke Sriwijaya (Sumatera). Selama
ini sejarahwan seperti Dr. Bosch dan Munoz menganut paham adanya dua wangsa
kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; Sanjaya-Sailendra. Mereka
beranggapan Sailendra yang penganut Buddha kalah bersaing dan terusir oleh
wangsa Sanjaya yang Hindu aliran Siwa.
C.
Kemunduran kerajaan Mataram
Runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama,
disebabkan oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar. Kemudian lahar
tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh kerajaan, sehingga
candi-candi tersebut menjadi rusak.
Kedua,
runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh krisis politik yang terjadi tahun
927-929 M.
Ketiga, runtuhnya kerajaan dan perpindahan
letak kerajaan dikarenakan pertimbangan ekonomi. Di Jawa Tengah daerahnya
kurang subur, jarang terdapat sungai besar dan tidak terdapatnya pelabuhan
strategis. Sementara di Jawa Timur, apalagi di pantai selatan Bali merupakan
jalur yang strategis untuk perdagangan, dan dekat dengan daerah sumber penghasil
komoditi perdagangan. Mpu Sindok mempunyai jabatan sebagai Rake I Hino ketika
Wawa menjadi raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa timur dan mendirikan dinasti
Isyana di sana dan menjadikan Walunggaluh sebagai pusat kerajaan.
Mpu
Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa berhasil membentuk
Kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yang berpusat di
Jawa Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M.Sumber
sejarah yang berkenaan dengan Kerajaan Mataram di Jawa Timur antara lain
prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti Limus, prasasti
Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti Silet, prasasti
Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan kedudukan putra mahkota
oleh Airlangga kepada sepupunya yaitu Samarawijaya putra Teguh Dharmawangsa.
III.
PENUTUP
Bahwa
kerajaan Mataram Jawa Tengah terdiri dari dua dinasti. Yaitu dinasti Sanjaya
dan dinasti Sailendra.
Keadaan masyarakat
saat masa awal kerajaan Mataram di Jawa Tengah boleh dikatakan makmur, karena
pengaruh dari peran seorang raja yang juga sangat arif bijaksana. Terdapat
beberapa aspek disana, yaitu aspek social, aspek keagamaan, aspek ekonomi dan
aspek politik.
Sebagaimana
yang telah disebutkan di atas, penyebab perpindahan ibu kota yang mulanya di
Jawa Tengah menjadi Jawa Timur ada beberapa hal, salah satunya adalah alasan
ekonomi dan pengalihan perhatian ke Jawa Timur sehingga Jawa Tengah
ditinggalkan.
Dari segi
sumber-sumber sejarah, terdapat banyak prasasti yang ditulis pada masa
kekuasaan raja-raja Mataram Jawa Tengah. Ditemukan juga candi-candi yang dapat
menjadi bukti dari kejayaan kerajaan Mataram Jawa Tengah.
Sumber
Drs. R. Soekmono, pengentar sejarah kebudayaanindonesia 2,
Yogyakarta: kanisus;1973, hlm 40
Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
Ni'matul
khoiriyah, “Mataram Kuno di Jawa Tengah” , Selasa, 26 Maret 2013, 00:54,
google.com
Ivan
Sujatmoko, “Wangsa Sanjaya (Kerajaan Medang atau Mataram Kuno)”, 2012
Indrasaputra,
“Dinasti Syailendra”, 28 Juni 2013, Blog.htm
wikipedia,Kesultanan_Mataram
Kondisi Kerajaan
a. Segi Pemerintahan
Setelah
Sanjaya wafat, penggantinya adalah Rakai Panangkaran, kuat dugaan bahwa
semenjak Rakai Panangkaran berkuasa Dinasti Syailendra (dari Kerajaan
Sriwijaya) mulai mengasai Mataram dan menjadikan raja-raja dari Dinasti Sanjaya
sebagai Bawahan. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa Rakai Panangkaran, kerap
membangun candi bercorak Budha pada masa pemerintahannya seperti Candi Sewu,
Plaosan, dan Kalasan. Pembangunan Candi Kalasan sendiri merupakan perintah dari
Maharaja Wisnu, Raja dari Dinasti Syailendra. Setelah Rakai Panangkaran,
Dinasti Syailendra masih berkuasa atas Mataram Kuno selama kurang lebih satu
abad.
Sampai
pada akhirnya terjadi perebutan antara Rakai Pikatan dan istrinya
Pramodhawardhani, (Dinasti Sanjaya) melawan Balaputradewa (Dinasti Syailendra).
Balaputradewa sendiri kalah dan menyingkir ke Sriwijaya, tempat nenek
moyangnya. Kelak dibawah pimpinan Balaputradewa, Sriwijaya mencapai jaman
keemasaan.
Dengan
ini berakhirlah kekuasaan Dinasti Syailendra atas Mataram Kuno. Dibawah
Pemerintahan Rakai Pikatan wilayah kekuasaan Mataram Kuno meluas sampai ke Jawa
Timur. Adapun setelah Rakai Pikatan wafat, Raja yang menggantikannya secara
berturut-turut adalah Rakai Kayuwangi, Ratu Watuhumalang,
Rakai Watukura Dyah Balitung, Daksa (910
–919) Tulodong (919 – 921) dan Wawa (921 – 927). Wawa adalah raja terakhir
Dinasti Sanjaya.
b. Segi Sosial Budaya
Masyarakat
Mataram Kuno terbilang maju dalam hal budaya, terbukti dengan banyaknya
bangunan candi yang dibuat, Termasuk dua Candi besar yang sangat termahsyur.
Tidak lain adalah Candi Borobudur yang dibuat pada masa pemerintahan
Samaratungga dari dinasti Syailendra yang bercorak Budha. Dan yang kedua adalah
Candi Prambanan yang dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan selesai
pada masa pemerintahan Daksa dari Dinasti Sanjaya yang bercorak hindu.
c. Segi Ekonomi
Melihat
dari letak wilayah kerajaan yang berada di dekat aliran sungai, dan informasi
dari prasasti canggal yang menyebutkan jawa kaya akan padinya, kemungkinan
besar mata pencaharian penduduknya sebagian besar dari bercocok tanam.
d. Segi Agama
Pemerintahan
kedua dinasti yang berbeda agama, dapat berjalan dengan rukun. Dibawah
pemerintahan Dinasti Syailendra toleransi agama masih terjaga. Terbukti dengan
Candi-candi yang berada di Jawa Tengah bagian utara bercorak Hindu, Sedangkan
bagian selatan bercorak Budha. Hal ini menjadi bukti bahwa
kerukunan hidup umat beragama di Indonesia sudah ada sejak dulu.
C. Keruntuhan
Sesudah
Wawa wafat digantikan Mpu Sindok menantu Wawa yang memindahkan kerajaannya ke
Jawa Timur dan mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti Isyana pada tahun 928 M.
Konon pemindahan ini dikarenakan letusan Gunung Merapi, gempa vulkanik, dan
hujan material vulkanik yang membuat kacau banyak daerah di Jawa Tengah. Di
Jawa timur ini Mpu Sindok mendirikan Kerajaan Medang Kamulan.
0 comments:
Post a Comment