Monday, September 12, 2016

Makalah Kerajaan Mataram



PENDAHULUAN


Kerajaan Mataram ini ialah Kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa timur pada abad ke-10. Kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Budha. Kerajaan Mataram ini dikenal dari sebuah prasasti yang ditemukan di desa Canggal (Barat daya manggelang). Prasasti ini ada sekitar tahun 732 M, ditulis dengan huruf Pallawa dan diubah dakam bahasa sansekerta yang indah sekali. Isinya terutama adalah memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang siwa) di atas sebuah bukit di daerah kunjarakunja oleh raja Sanjaya. Daerah ini letaknya di sebuah  pulau yang mulia, Yawadwipa, yang kaya raya akan hasil bumi, terutama padi dan emas. Yawadwipa ini mula-mula diperintah oleh raja Sanna, yang lama sekali memerintah dengan kebijaksanaan dan kehalusan budi. Setelah raja Sanna wafat, pecahlah negaranya, kebingungan karena kehilangan perlindungan. Naiklah keatas takhta kerajaan raja Sanjaya, anak Sannaha  (saudara perempuan Sanna), seorang raja yang ahli dalam kitab-kitab suci dan dalam keprajurutan. Ia menaklukan berbagai daerah di sekitar kerajaannya, dan menciptakan ketentraman serta kemakmuran yang dapat dinikmati oleh rakyatnya.
Mendirikan sebuah Lingga secara khusus adalah lambang mendirikan suatu kerajaan. Bahwa Sanjaya dianggap sebagai Wamcakarta dari kerajaan Mataram, ternyata juga dari prasasti-prasasti para raja yang berturut-turut  menggantikannya. Diantara prasasti-prasasti itu ada beberapa dari Balitung yang memuat silsilah, dan yang menjadi pangkal silsilah itu rakyat Mataram sang Ratu Sanjaya. Bahkan ada pula prasasti yang menggunakan tarikh Sanjaya. Dari kedua kenyataan itu jelas betapa besarnya arti Sanjaya itu bagi raja-raja yang lerajaannya berpusat di Jawa Tengah sampai abd ke-10.
Adapun lingga yang didirikan oleh Sanjaya itu tempatnya iyalah digunung Wukir di desa Canggal. Disini terdapat sisa-sisa sebuah candi induk dengan3 candi perwara di depannya. Didalam candi induk itu tidak lagi terdapatkanlingganya, yang ada iyalah sebuah Yoni besar sekali, dan umumnya yoni itu merupakan landasan bagi sebuah lingga. Di halaman candi inilah prasasti Canggal itu ditemukan.[1][1]


II.                PEMBAHASAN

A.    Asal-usul kerajaan Mataram
            Kerajaan Mataram kuno adalah salah satu kerajaan Hindu yang banyak meninggalkan sejarah melalui prasasti dan benda arkeologi yang ditemukan. Kerajaan ini pada awalnya berdiri di wilayah Jawa Tengah yang juga di kenal sebagai kerajaan Medang.
            Kerajaan Mataram kuno atau Mataram Hindu merupakan kerajaan Hindu yang pernah berjaya dengan dua dinasti . Dinasti yang pernah berjaya memimpin Mataram kuno yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Kerajaan ini berkuasa pada Jawa Tengah bagian selatan . Kerajaan ini berdiri pada abad ke-8 di Jawa Tengah.
Kerajaan ini juga sering disebut sebagai kerajaan Medang, kerajaan Mataram kuno dan kerajaan Mataram Hindu. Nama yang lazim di pakai untuk menyebut kerajaan Medang periode Jawa Tengah adalah kerajaan Mataram ,yaitu merujuk kepada salah satu daerah di Ibu kota kerajaan ini, untuk membedakannya dengan kerajaan Mataram Islam.Pada abad ke-10 kerjaan ini berpindah ke Jawa Timur.
Secara umum, nama kerajaan Medang merupakan penyebutan untuk kerajaan Mataram hanya pada masa kerajaan Mataram waktu berpusat di JawaTimur. Hal tersebut didasarkan pada adanya penemuan-penemuan prasasti yang berisikan tentang kerajaan Mataram.Dalam beberapa bukti prasasti tersebut diungkapkan bahwa penggunaan nama kerajaan Medang sudah digunakan sejak kerajaan Mataram ada di Jawa Tengah sebelum pindah ke Jawa Timur.
Secara umum kerajaan Mataram Kuno pernah dipimpin oleh tiga dinasti  yang berkuasa pada waktu itu.Yaitu Wangsa Sanjaya,Wangsa Sailendra,Wangsa Isana. Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra merupakan dua dinasti dari kerajaan Mataram kuno yang berpusat di JawaTengah,sedangkan Wangsa Isana berpusat di JawaTimur.

B.     Perkembangan kerajaan Mataram

DINASTY SANJAYA
Bukti-bukti berdirinya Dinasti Sanjaya dapat diketahui melalui :
1.      Prasasti Canggal (daerah Kedu) tahun 732 M, prasasti Balitung, Kitab Carita Parahyangan. Prasasti Canggal (732 M) Prasasti ini dibuat pada masa pemerintahan Raja Sanjaya yang berhubungan dengan pendirian lingga yang merupakan perwujudan Dewa Siwa. Hal ini menunjukkan bahwa agama yang dianutnya adalah agama Hindu.
2.      Prasasti Balitung/ Mantyasih (907 M) Prasasti ini adalah prasasti tembaga yang dikeluarkan oleh Raja Diah Balitung(Wangsa Sanjaya ke-9). Diah Balitung mengeluarkan prasasti ini sehubungan dengan pemberian hadiah tanah kepada lima orang patihnya di Mantyasih, karena kelima patihnya itu telah berjasa besar terhadap kerajaan. Dalam prasasti itu disebutkan nama raja yang pernah memerintah pada Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya. Kitab Carita Parahyangan Kitab ini menceritakan tentang hal ikhwal raja-raja Sanjaya.
Penggunaan nama wangsa sanjaya didasarkan pada nama raja pertama kerajaan Medang. Nama dari raja tersebut adalah Sanjaya.Raja kerajaan ini menganut agama Hindu atau siwa. Rakai pikatan yang waktu itu menjadi pangeran dinasti sanjaya, menikah dengan pramodawardhani,  puteri raja dinasti Sailendra Samaratungga. Sejak saat itu corak kebudayaan Hindu mulai dianut oleh masyarakat Mataram.Menurut prasasti canggal wangsa ini didirikan pada tahun 732 M oleh Sanjaya. Tak banyak yang diketahui pada masa awal wangsa Sanjaya.

Raja-raja pada wangsa sanjaya.

1. Ratu Sanjaya
Ratu Sanjaya alias Rakai Mataram menempati urutan pertama dalam daftar para raja Kerajaan Medang versi prasasti Mantyasih, yaitu prasasti yang dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung tahun 907. Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tanggal 6 Oktober 732 tentang pendirian sebuah lingga serta bangunan candi untuk memuja Siwa di atas sebuah bukit. Candi tersebut kini hanya tinggal puing-puing reruntuhannya saja, yang ditemukan di atas Gunung Wukir, dekat Kedu.
Prasasti Canggal ternyata tidak menyebutkan nama kerajaan yang dipimpin Sanna dan Sanjaya. Sementara itu prasasti Mantyasih menyebut Sanjaya sebagai raja pertama Kerajaan Medang, sedangkan nama Sanna sama sekali tidak disebut. Mungkin Sanna memang bukan raja Medang. Dengan kata lain, Sanjaya mewarisi takhta Sanna namun mendirikan sebuah kerajaan baru yang berbeda. Kisah yang agak mirip terjadi pada akhir abad ke-13, yaitu Raden Wijaya mewarisi takhta Kertanagara raja terakhir Singasari, namun ia mendirikan kerajaan baru bernama Majapahit.
Pada zaman Kerajaan Medang terdapat suatu tradisi mencantumkan jabatan lama di samping gelar sebagai maharaja. Misalnya, raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907 M) adalah Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu. Itu artinya, jabatan lama Dyah Balitung sebelum menjadi raja Medang adalah sebagai kepala daerah Watukura.
Sementara itu gelar Sanjaya sebagai raja adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Dapat diperkirakan ketika Sanna masih berkuasa, Sanjaya bertindak sebagai kepala daerah Mataram (daerah Yogyakarta sekarang). Daerah Mataram inilah yang kemungkinan besar dipakai sebagai lokasi ibu kota ketika Sanjaya mendirikan Kerajaan Medang. Itulah sebabnya, Kerajaan Medang juga terkenal dengan sebutan Kerajaan Mataram. Sementara itu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung, ibu kota Kerajaan Medang sudah tidak lagi berada di Mataram, melainkan pindah ke Poh Pitu.
Kapan tepatnya Kerajaan Medang berdiri tidak diketahui dengan pasti. Seorang keturunan Sanjaya bernama Mpu Daksa memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa atau kalender Sanjaya. Menurut analisis para sejarawan, tahun 1 Sanjaya bertepatan dengan tahun 717 M. Angka tahun tersebut menimbulkan dua penafsiran, yaitu tahun penobatan Sanjaya sebagai raja, atau bisa juga merupakan tahun kelahiran Sanjaya.
Apabila Sanjaya naik takhta pada tahun 717 M, berarti saat prasasti Canggal (732 M) dikeluarkan, Kerajaan Medang sudah berusia 15 tahun. Sementara itu apabila 717 M adalah tahun kelahiran Sanjaya, berarti saat mengeluarkan prasasti Canggal ia masih berusia 15 tahun dan sudah menjadi raja. Dengan kata lain, Sanna mengangkat Sanjaya sebagai kepala daerah Mataram sejak keponakannya itu masih anak-anak (sama seperti Jayanagara pada zaman Majapahit).

2. Rakai Pikatan
Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya, menikah dengan Pramodhawardhani (833-856 M), puteri raja Wangsa Syailendara Samaratungga. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan Agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa, dan pada tahun 850 M, Wangsa Sanjaya kembali menjadi satu-satunya penguasa Mataram. Prasasti Wantil disebut juga prasasti Siwagreha yang dikeluarkan pada tanggal 12 November 856 M. Prasasti ini selain menyebut pendirian istana Mamratipura, juga menyebut tentang pendirian bangunan suci Siwagreha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa. Candi Siwa identik dengan salah satu candi utama pada komplek Candi Prambanan. Dengan demikian, bangunan utama pada komplek tersebut dibangun oleh Rakai Pikatan, sedangkan candi-candi kecil lainnya mungkin dibangun pada masa raja-raja selanjutnya.




3. Rakai Kayuwangi
Sebenarnya kurang tepat apabila Rakai Kayuwangi disebut sebagai raja Kerajaan Mataram karena menurut prasasti Wantil, saat itu istana Kerajaan Medang tidak lagi berada di daerah Mataram, melainkan sudah dipindahkan oleh Rakai Pikatan (raja sebelumnya) ke daerah Mamrati, dan diberi nama Mamratipura.
Rakai Kayuwangi adalah putra bungsu Rakai Pikatan yang lahir dari permaisuri Pramodawardhani. Nama aslinya adalah Dyah Lokapala (prasasti Wantil) atau Mpu Lokapala (prasasti Argapura). Menurut prasasti Wantil atau prasasti Siwagerha tanggal 12 November 856, Dyah Lokapala naik takhta menggantikan ayahnya, yaitu Sang Jatiningrat (gelar Rakai Pikatan sebagai brahmana). Pengangkatan putra bungsu sebagai raja ini didasarkan pada jasa kepahlawanan Dyah Lokapala dalam menumpas musuh ayahnya, yang bermarkas di timbunan batu di atas bukit Ratu Baka.
Teori populer menyebut nama musuh tersebut adalah Balaputradewa karena pada prasasti Wantil terdapat istilah walaputra. Namun, sejarawan Buchari tidak menjumpai prasasti atas nama Balaputradewa pada situs bukit Ratu Baka, melainkan atas nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Adapun makna istilah walaputra adalah putra bungsu, yaitu julukan untuk Dyah Lokapala yang berhasil menumpas musuh ayahnya tersebut.
Jadi, pada akhir pemerintahan Rakai Pikatan terjadi pemberontakan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang mengaku sebagai keturunan pendiri Wangsa Sanjaya. Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas oleh Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala alias Sang Walaputra, sehingga ia mendapat dukungan rakyat untuk naik takhta menggantikan ayahnya. Teori pemberontakan Rakai Walaing ini telah membantah teori populer tentang adanya perang saudara antara Balaputradewa melawan Pramodawardhani dan Rakai Pikatan sepeninggal Samarottungga.

4. Rakai Watuhumalang
Menurut daftar para raja Kerajaan Medang dalam prasasti Mantyasih, Rakai Watuhumalang menjadi raja kedelapan menggantikan Rakai Kayuwangi. Prasasti tersebut dikeluarkan tahun 907 M oleh Dyah Balitung, yaitu raja sesudah Rakai Watuhumalang. Rakai Watuhumalang sendiri tidak meninggalkan prasasti atas nama dirinya. Sementara itu prasasti Panunggalan tanggal 19 November 896 M menyebut adanya tokoh bernama Sang Watuhumalang Mpu Teguh, namun tidak bergelar maharaja, melainkan hanya bergelar haji (raja bawahan).

Tidak dapat dipastikan apakah Mpu Teguh identik dengan Rakai Watuhumalang. Apabila keduanya benar-benar tokoh yang sama, maka dapat dibayangkan bahwa masa pemerintahan Rakai Watuhumalamg sangat singkat. Pada tahun 896 M ia masih menjadi raja bawahan, sedangkan pada tahun 899 (prasasti Telahap) yang menjadi raja sudah bernama Dyah Balitung.

5. Rakai Watukura Dyah Balitung
Dyah Balitung berhasil naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya. Kemungkinan besar raja tersebut adalah Rakai Watuhumalang yang menurut prasasti Mantyasih memerintah sebelum Balitung. Mungkin alasan Dyah Balitung bisa naik takhta bukan hanya itu, mengingat raja sebelumnya ternyata juga memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap). Alasan lain yang menunjang ialah keadaan Kerajaan Medang sepeninggal Rakai Kayuwangi mengalami perpecahan, yaitu dengan ditemukannya prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi dan prasasti Poh Dulur atas nama Rakai Limus Dyah Dewendra.
Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung yang merupakan menantu Rakai Watuhumalang (raja Medang pengganti Rakai Kayuwangi) berhasil menjadi pahlawan dengan menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga kembali mengakui kekuasaan tunggal di Kerajaan Medang. Maka, sepeninggal Rakai Watuhumalang, rakyat pun memilih Balitung sebagai raja dari pada iparnya, yaitu Mpu Daksa. Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, istana Kerajaan Medang tidak lagi berada di daerah Mataram, ataupun Mamrati, melainkan sudah dipindahkan ke daerah Poh Pitu yang diberi nama Yawapura.
Hal ini dimungkinkan karena istana Mamratipura (yang dulu dibangun oleh Rakai Pikatan) telah rusak akibat perang saudara antara Rakai Kayuwangi melawan Rakai Gurunwangi. Prasasti tertua atas nama Balitung yang berhasil ditemukan adalah prasasti Telahap tanggal 11 September 899 M. Namun bukan berarti ini adalah prasasti pertamanya, atau dengan kata lain, bisa jadi Balitung sudah naik takhta sebelum tahun 899 M.
Disusul kemudian prasasti Watukura tanggal 27 Juli 902 M. Prasasti tersebut adalah prasasti tertua yang menyebutkan adanya jabatan Rakryan Kanuruhan, yaitu semacam jabatan perdana menteri. Sementara itu jabatan Rakryan Mapatih pada zaman Balitung merupakan jabatan putra mahkota yang dipegang oleh Mpu Daksa.
Prasasti Telang tanggal 11 Januari 904 M berisi tentang pembangunan komplek penyeberangan bernama Paparahuan yang dipimpin oleh Rakai Welar Mpu Sudarsana di tepi Bengawan Solo. Balitung membebaskan pajak desa-desa sekitar Paparahuan dan melarang para penduduknya untuk memungut upah dari para penyeberang.

Prasasti Poh tanggal 17 Juli 905 M berisi pembebasan pajak desa Poh untuk ditugasi mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silunglung peninggalan raja sebelumnya yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Raja ini merupakan kakek dari Mpu Daksa dan permaisuri Balitung. Prasasti Kubu-Kubu tanggal 17 Oktober 905 M berisi anugerah desa Kubu-Kubu kepada Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan karena keduanya berjasa memimpin penaklukan daerah Bantan. Beberapa sejarawan menafsirkan Bantan sebagai nama lain dari Bali. Istilah Bantan artinya korban, sedangkan Bali artinya persembahan.
Prasasti Mantyasih tanggal 11 April 907 M berisi tentang anugerah kepada lima orang patih bawahan yang berjasa dalam menjaga keamanan saat pernikahan Dyah Balitung. Dalam prasasti ini disebutkan pula urutan raja-raja Medang yang memerintah sebelum dirinya. Pada tahun 907 M tersebut Balitung juga memberikan desa Rukam sebagai hadiah untuk neneknya yang bernama Rakryan Sanjiwana dengan tugas merawat bangunan suci di Limwung.

6. Mpu Daksa
Mpu Daksa naik takhta menggantikan Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya. Hubungan kekerabatan ini berdasarkan bukti bahwa Daksa sering disebut namanya bersamaan dengan istri Balitung dalam beberapa prasasti. Selain itu juga diperkuat dengan analisis sejarawan Boechari terhadap berita Cina dari Dinasti Tang berbunyi Tat So Kan Hiung, yang artinya "Daksa, saudara raja yang gagah berani".
Dyah Balitung diperkirakan naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya, sehingga secara otomatis Mpu Daksa pun disebut sebagai putra raja tersebut. Kemungkinan besar raja itu ialah Rakai Watuhumalang yang memerintah sebelum Balitung menurut prasasti Mantyasih. Menurut prasasti Telahap, Mpu Daksa adalah cucu dari Rakryan Watan Mpu Tamer, yang merupakan seorang istri raja yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Dengan demikian, Daksa dapat disebut sebagai cucu dari Rakai Pikatan. Prasasti Plaosan yang dikeluarkan oleh Rakai Pikatan juga menyebut adanya tokoh bernama Sang Kalungwarak Mpu Daksa.

7. Rakai Layang Dyah Tulodhong
Dyah Tulodhong dianggap naik takhta menggantikan Mpu Daksa. Dalam prasasti Ritihang yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa terdapat tokoh Rakryan Layang namun nama aslinya tidak terbaca. Ditinjau dari ciri-cirinya, tokoh Rakryan Layang ini seorang wanita berkedudukan tinggi, jadi tidak mungkin sama dengan Dyah Tulodhong. Mungkin Rakryan Layang adalah putri Mpu Daksa. Dyah Tulodhong berhasil menikahinya sehingga ia pun ikut mendapatkan gelar Rakai Layang, bahkan naik takhta menggantikan mertuanya, yaitu Mpu Daksa.
Dalam prasasti Lintakan Dyah Tulodhong disebut sebagai putra dari seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil. Prasasti Lintakan tanggal 12 Juli 919 M adalah prasasti tertua yang pernah ditemukan dengan menyebut Tulodhong sebagai raja. Dalam pemerintahannya, yang menduduki jabatan Rakryan Mapatih Hino bernama Mpu Ketuwijaya yang juga bergelar Sri Ketudhara Manimantaprabha Prabhusakti. Sedangkan yang menjabat Rakryan Halu adalah Mpu Sindok.
Prasasti Harinjing Tanggal 19 September 921 M berisi pengukuhan anugerah untuk anak-anak Bhagawanta Bhari yang berjumlah 12 orang dan tersebar di mana-mana. Bhagawanta Bhari adalah tokoh yang berjasa membangun bendungan pencegah banjir. Ia sendiri telah mendapat anugerah dari raja sebelumnya. Prasasti untuk anak-anak Bhagawanta Bhari diperbaharui lagi pada tanggal 7 Maret 927 M, di mana mereka mendapatkan desa Culanggi sebagai sima swatantra (daerah bebas pajak). Pembaharuan tersebut dilakukan oleh Rakai Hino Mpu Ketuwijaya, atas saran dari Rakai Sumba yang menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah.

8. Rakai Sumba Dyah Wawa
Dyah Wawa naik takhta menggantikan Dyah Tulodhong. Nama Rakai Sumba tercatat dalam prasasti Culanggi tanggal 7 Maret 927, menjabat menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah, yaitu semacam pegawai pengadilan. Selain bergelar Rakai Sumba, Dyah Wawa juga bergelar Rakai Pangkaja. Dyah Wawa tidak memiliki hak atas takhta Dyah Tulodhong. Sejarawan Boechari berpendapat bahwa Dyah Wawa melakukan kudeta merebut takhta Kerajaan Medang.
Kemungkinan besar kudeta yang dilakukan oleh Dyah Wawa mendapat bantuan dari Mpu Sindok, yang naik pangkat menjadi Rakryan Mapatih Hino. Sebelumnya, yaitu pada masa pemerintahan Dyah Tulodhong, Mpu Sindok menjabat sebagai Rakryan Halu, sedangkan Rakai Hino dijabat oleh Mpu Ketuwijaya. Peninggalan sejarah Dyah Wawa berupa prasasti Sangguran tanggal 2 Agustus 928 M tentang penetapan desa Sangguran sebagai sima swatantra (daerah bebas pajak) agar penduduknya ikut serta merawat bangunan suci di daerah Kajurugusalyan.

            Beberapa hal yang menyebabkan perpindahan kerajaan Mataram kuno di Jawa Tengah ke Jawa Timur yaitu:
1.      Perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada permulaan abad 10 A.D. fakta ini didahului dengan perpindahan perhatian dari raja-raja Jawa Tengah secara berangsur-angsur  ke Jawa Timur.
2.      Kemungkinan dari alasan-alasan politis yang dikemukakan oleh Dr,J.G.de Casparis.
3.      Terjadinya serangan musuh ke dalam keraton atau kaliyuga.
4.      Menurut Dr.R.W.Van Bemmelen mengatakan bahwa ia menemukan tanda-tanda dari ledakan gunung merapi pada masa lampau, Bagian sebelah barat meledak dan mengalir ke bawah dengan kecepatan penuh,sehingga terbentuk bukti-bukti gendol.
       Menueut pendapat Boechari,kita perlu data-data yang lebih teoat tentang terjadinya bencana alam itu,kalau dapat dibuktikan bahwa itu terjadi pada sekitar awal abad 10 A.D, maka dapat dipastikan bahwa memang benar ledakan inilah yang menyebabkan perpindahan Ibu kota,kami memikirkan kemungkinan bahwa ibu kota dihancurkan oleh gempa bumi atau aliran lava atau keduanya.
5.      Salah satu daerah yang subur ditinggalkan ,karena mereka menjadi tidak berpenduduk dan tidak dapat untuk  bertani s\dalam waktu yang lama, ini dianggap sebagai faktor Ekonomi.

Pada abad ke-10, Dyah Wawa mempersiapkan stategi suksesi Empu Sindok yang memiliki integritas dan moralitas sebagai calon pemimpin Mataram. Pada saat itulah pemerintahan Dyah Wawa mengalami kemunduran. Empu Sendok yang memegang pemerintahan setelah Dyah Wawa meninggal merasa khawatir terhadap serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Empu Sendok memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur Sumber lain menyebutkan perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur disebabkan oleh meletusnya gunung merapi di Jawa Tengah.

DINASTI SYAILENDRA
                        Pada akhir abad 8 M di Jawa Tengah bagian selatan, yaitu di daerah Bagelan dan Yogyakarta, muncul dinasti baru yaitu diasti saylendra. Dinasti ini akhirnya berhasil mendesak dinasti sanjaya ketika dinasti sanjaya diperintah panagkaran. Keterangan ini dapat dilihat dari prasasti kalasan (778) yang menyebutkan “panagkaran seolah-seolah diperintah oleh raja wisnu untuk mendirikan candi kalasan”. Dari isi prasasti kalasan dapat diambil kesimpulan bahwa kerajaan dinasti sanjaya terdesak oleh dinasti saylendra dan bisa jadi sanjaya hidup berdampingan dengan dinasti saylendra.
            Keluarga wangsa Sailendra di sini menganut agama Buddha Mahayana. Buddha berkembang di Jawa Tengah pada abad ke-8 M. Namun keberadaan agama Hindu tidak tersingkirkan sebab hal tersebut. Nampaknya, kedua agama itu telah bersenyawa(sinkretis). Unsur-unsur tersebut jelas terdapat pada candi dan kitab-kitab kedua agama tersebut, seperti candi Borobudur,Prambanan. Kitab Sang Hyang Kamahayanikan dan Sutasoma”.[2][2]
            Kehidupan sosial Kerajaan Mataram Dinasti Syailendra ditafsirkan telah teratur. Hal ini dilihat dari pembuatan Candi yang menggunakan tenaga rakyat secara bergotong royong. Dari segi budaya Kerajaan Dinasti Syailendra juga banyak meninggalkan bangunan-bangunan megah dan bernilai.
            Berdasarkan bukti-bukti peninggalan Kerajaan Syailendra yang berupa candi-candi, wilayah kekuasaan Syailendra meliputi wilayah Jawa Tengah bagian selatan, yaitu wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Pada masa pemerintahan Raja Balaputra Dewa, diketahui bahwa pusat kedudukan Kerajaan Syailendra terletak di daerah pegunungan di sebelah selatan. Hal mi berdasar pada letak peninggalan istana Ratu Boko.
Sumber sejarah Kerajaan Syailendra tidak begitu banyak yang berhasil diketahui, baik berupa prasasti maupun peninggalan-peninggalan arkeologi. Prasasti-prasasti yang berhasil ditemukan di antaranya sebagai berikut.
Prasasti Kalasan (778 M) Prasasti ini menyebutkan tentang seorang raja dari Dinasti Syailendra (Kerajaan Syailendra) yang berhasil menunjuk Rakai Panangkaran untuk mendirikan satu bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah bihara untuk para pendeta. Rakai Panangkaran akhirnya meng-hadiahkan Desa Kalasan kepada Sanggha Buddha.
Prasasti Kelurak (782 M) di daerah Prambanar Prasasti ini menyebutkan pembuatan area Manjusri yang merupakan perwujudan Sang Buddha, Wisnu, Manjusri dan Sanggha, yang dapat disamakan dengan Brahma, Wisnu, Siwa. Prasasti ini juga menyebut nama raja yang memerintah saat itu, yang bernama Raja Indra.
Prasasti Ratu Boko (856 M) Prasasti ini menyebutkan kekalahan Raja Balaputra Dewa dalam perang saudara melawan kakaknya Pramodhawardani dan selanjutnya melarikan diri ke Sriwijaya.
Prasasti Nalanda (860 M) Prasasti ini menyebutkan tentang asal usul Raja Balaputra Dewa. Disebutkan bahwa Balaputra Dewa adalah. putra dari Raja Samarotungga dan cucu dari Raja Indra (Kerajaan Syailendra di Jawa Tengah).
Berdasarkan prasasti yang telah ditemukan dapat diketahui raja-raja yang pernah memerintah Dinasti Syailendra, di antaranya: Raja Indra Dinasti Syailendra menjalankan politik ekspansi pada masa pemerintahan Raja Indra. Periuasan wilayah ini ditujukan untuk menguasai daerah-daerah sekitar Selat Malaka. Selanjutnya, yang memperkokoh pengaruh kekuasaan Syailendra terhadap Sriwijaya adalah karena Raja Indra menjalankan pernikahan politik. Raja Indra mengawinkan putranya yang bernama Samarottungga dengan putri Raja Sriwijaya.
            Raja Samarottungga Pengganti Raja Indra bernama Samarottungga. Fada zaman kekuasaannya dibangun Candi Borobudur. Namun sebelum pembangunan Candi Borobudur selesai, Raja Samarottungga meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Balaputra Dewa yang merupakan anak dari selir. Tetapi sebenamya yang berhak menggantikan adalah putrinya yang lahir dari permaisuri yang bernama Pramodhawardani. Dia menolak, karena tidak mungkin sanggup untuk memerintah. Akhirnya tahta kerajaan diserahkan kepada Balaputra Dewa (adik tirinya).
            Kerajaan Syailendra banyak meninggalkan bangunan-bangunan candi yang sangat megah dan besar nilainya, baik dari segi kebudayaan, kehidupan masyarakat dan perkembangan kerajaan. Candi-candi yang terkenal seperti telah disebutkan di atas adalah Candi Mendut, Pawon, Borobudur, Kalasan, Sari, dan Sewu.
            Nama Borobudur diperkirakan berasal dari nama Bhumi Sambhara Budhara. Bhumi Sambhara berarti bukit atau gunung dan Budhara berarti “raja”. Jadi arti dari nama tersebut adalah Raja Gunung, yang sama artinya dengan Syailendra. Candi Borobudur memiliki suatu sistem yang terbagi dalam tiga bagian yaitu Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu.
            Berapa sejarahwan berusaha menjelaskan berakhirnya kekuasaan Sailendra di Jawa Tengah mengaitkannya dengan kepindahan Balaputradewa ke Sriwijaya (Sumatera). Selama ini sejarahwan seperti Dr. Bosch dan Munoz menganut paham adanya dua wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; Sanjaya-Sailendra. Mereka beranggapan Sailendra yang penganut Buddha kalah bersaing dan terusir oleh wangsa Sanjaya yang Hindu aliran Siwa.       
 





C.    Kemunduran kerajaan Mataram
Runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, disebabkan oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar. Kemudian lahar tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh kerajaan, sehingga candi-candi tersebut menjadi rusak.
Kedua, runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh krisis politik yang terjadi tahun 927-929 M.
 Ketiga, runtuhnya kerajaan dan perpindahan letak kerajaan dikarenakan pertimbangan ekonomi. Di Jawa Tengah daerahnya kurang subur, jarang terdapat sungai besar dan tidak terdapatnya pelabuhan strategis. Sementara di Jawa Timur, apalagi di pantai selatan Bali merupakan jalur yang strategis untuk perdagangan, dan dekat dengan daerah sumber penghasil komoditi perdagangan. Mpu Sindok mempunyai jabatan sebagai Rake I Hino ketika Wawa menjadi raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa timur dan mendirikan dinasti Isyana di sana dan menjadikan Walunggaluh sebagai pusat kerajaan.
Mpu Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa berhasil membentuk Kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yang berpusat di Jawa Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M.Sumber sejarah yang berkenaan dengan Kerajaan Mataram di Jawa Timur antara lain prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti Limus, prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti Silet, prasasti Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan kedudukan putra mahkota oleh Airlangga kepada sepupunya yaitu Samarawijaya putra Teguh Dharmawangsa.







III.                           PENUTUP


      Bahwa kerajaan Mataram Jawa Tengah terdiri dari dua dinasti. Yaitu dinasti Sanjaya dan dinasti Sailendra.
      Keadaan masyarakat saat masa awal kerajaan Mataram di Jawa Tengah boleh dikatakan makmur, karena pengaruh dari peran seorang raja yang juga sangat arif bijaksana. Terdapat beberapa aspek disana, yaitu aspek social, aspek keagamaan, aspek ekonomi dan aspek politik.
      Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, penyebab perpindahan ibu kota yang mulanya di Jawa Tengah menjadi Jawa Timur ada beberapa hal, salah satunya adalah alasan ekonomi dan pengalihan perhatian ke Jawa Timur sehingga Jawa Tengah ditinggalkan.
      Dari segi sumber-sumber sejarah, terdapat banyak prasasti yang ditulis pada masa kekuasaan raja-raja Mataram Jawa Tengah. Ditemukan juga candi-candi yang dapat menjadi bukti dari kejayaan kerajaan Mataram Jawa Tengah.














Sumber
Drs. R. Soekmono, pengentar sejarah kebudayaanindonesia 2, Yogyakarta: kanisus;1973, hlm 40
Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
Ni'matul khoiriyah, “Mataram Kuno di Jawa Tengah” , Selasa, 26 Maret 2013, 00:54, google.com
Ivan Sujatmoko, “Wangsa Sanjaya (Kerajaan Medang atau Mataram Kuno)”, 2012
Indrasaputra, “Dinasti Syailendra”, 28 Juni 2013, Blog.htm

wikipedia,Kesultanan_Mataram


Kondisi Kerajaan

a. Segi Pemerintahan

Setelah Sanjaya wafat, penggantinya adalah Rakai Panangkaran, kuat dugaan bahwa semenjak Rakai Panangkaran berkuasa Dinasti Syailendra (dari Kerajaan Sriwijaya) mulai mengasai Mataram dan menjadikan raja-raja dari Dinasti Sanjaya sebagai Bawahan. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa Rakai Panangkaran, kerap membangun candi bercorak Budha pada masa pemerintahannya seperti Candi Sewu, Plaosan, dan Kalasan. Pembangunan Candi Kalasan sendiri merupakan perintah dari Maharaja Wisnu, Raja dari Dinasti Syailendra. Setelah Rakai Panangkaran, Dinasti Syailendra masih berkuasa atas Mataram Kuno selama kurang lebih satu abad.

Sampai pada akhirnya terjadi perebutan antara Rakai Pikatan dan istrinya Pramodhawardhani, (Dinasti Sanjaya) melawan Balaputradewa (Dinasti Syailendra). Balaputradewa sendiri kalah dan menyingkir ke Sriwijaya, tempat nenek moyangnya. Kelak dibawah pimpinan Balaputradewa, Sriwijaya mencapai jaman keemasaan.

Dengan ini berakhirlah kekuasaan Dinasti Syailendra atas Mataram Kuno. Dibawah Pemerintahan Rakai Pikatan wilayah kekuasaan Mataram Kuno meluas sampai ke Jawa Timur. Adapun setelah Rakai Pikatan wafat, Raja yang menggantikannya secara berturut-turut adalah Rakai Kayuwangi, Ratu Watuhumalang, Rakai Watukura Dyah Balitung, Daksa (910 –919) Tulodong (919 – 921) dan Wawa (921 – 927). Wawa adalah raja terakhir Dinasti Sanjaya.


b. Segi Sosial Budaya 

Masyarakat Mataram Kuno terbilang maju dalam hal budaya, terbukti dengan banyaknya bangunan candi yang dibuat, Termasuk dua Candi besar yang sangat termahsyur. Tidak lain adalah Candi Borobudur yang dibuat pada masa pemerintahan Samaratungga dari dinasti Syailendra yang bercorak Budha. Dan yang kedua adalah Candi Prambanan yang dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan selesai pada masa pemerintahan Daksa dari Dinasti Sanjaya yang bercorak hindu.

c. Segi Ekonomi

Melihat dari letak wilayah kerajaan yang berada di dekat aliran sungai, dan informasi dari prasasti canggal yang menyebutkan jawa kaya akan padinya, kemungkinan besar mata pencaharian penduduknya sebagian besar dari bercocok tanam.

d. Segi Agama

Pemerintahan kedua dinasti yang berbeda agama, dapat berjalan dengan rukun. Dibawah pemerintahan Dinasti Syailendra toleransi agama masih terjaga. Terbukti dengan Candi-candi yang berada di Jawa Tengah bagian utara bercorak Hindu, Sedangkan bagian selatan bercorak Budha.   Hal ini menjadi bukti bahwa kerukunan hidup umat beragama di Indonesia sudah ada sejak dulu.


C. Keruntuhan

Sesudah Wawa wafat digantikan Mpu Sindok menantu Wawa yang memindahkan kerajaannya ke Jawa Timur dan mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti Isyana pada tahun 928 M. Konon pemindahan ini dikarenakan letusan Gunung Merapi, gempa vulkanik, dan hujan material vulkanik yang membuat kacau banyak daerah di Jawa Tengah. Di Jawa timur ini Mpu Sindok mendirikan Kerajaan Medang Kamulan.




[1][1] DRS. R. Soekmono, 1973, hlm 40
[2][2] Halimi J.A.:2008:135:Sejarah dan tamadun Bangsa Melay

0 comments:

Post a Comment